



:Cyntia Lumintang 
Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat rahmat dan petunjuk-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini dibahas mengenai pandangan gereja Katolik mengenai Eutanasia. Pembahasan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti dan jelas.
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan dan kesalahan, karena masih kurangnya pengalaman dan pengetahuan saya.
Oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran, untuk perbaikan dalam pembutan makalah ke arah yang lebih baik lagi.
Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati segala tugas-tugas dan usaha kita yang berkenan di hadapan-Nya.
                                                             Manado, Mei 
                                                               Penyusun
Cyntia T Lumintang 
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………   i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………   ii
Bab 1  :  Pendahuluan ………………………………………………………………………….  1
Bab 2 :  Pembahasan ………………………………………………………………………….   2
A.  Pengertian Eutanasia ……………………………………………………   2
B.   Jenis-jenis Eutanasia …………………………………………………….  3
C.   Penilaian Moral Umum Tehadap Eutanasia…………………  5
D.  Pandangan Gereja Katolik Terhadap Eutanasia…………  6
E.   Tenaga Medis dan Eutanasia………………………………………… 12
F.   Argumen Penentang dan Pendukung Eutanasia………….  14
Bab 3 :   Penutup ……………………………………………………………………………………17
             Refleksi ………………………………………………………………………………… 17
              Kesimpulan ……………………………………………………………………………. 18
Daftar pustaka ……………………………………………………………………………………  19
ii
BAB IPENDAHULUAN Dalam zaman yang semakin modern ini, manusia mengalami berbagai macam permasalahan dalan hidup. Bersamaan dengan hal itu, pemikiran dan kehidupan setiap manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Perkembangan ini dapat kita lihat dalam pelbagai bidang kehidupan Semua itu dikarenakan oleh sikap dari manusia itu sendiri dalam melewati zaman modern ini.
Dari berbagai macam perubahan itu, yang menjadi fokus dari penulisan makalah ini adalah bidang moral. Di zaman ini, manusia sering mengambil keputusan moral yang salah, tetapi manusia selalu membela diri dan berusaha untuk membenarkan perbuatannya itu. Dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu pelanggaran moral yang dilakukan terhadap hidup manusia , yaitu Eutanasia.
          Masalah eutanasia ini memang sudah cukup lama dikenal. Eutanasia merupakan merupakan topik yang menarik dalam perbincangan moral dan etika medis. Akan tetapi, masalah ini membawa kekhawatiran banyak pihak, khususnya pihak Gereja Katolik. Dengan munculnya fenomena baru pada abad XX, dimana adanya usaha promosi legalisasi eutanasia secara publik. Usaha pelegalan tersebut mulai dipromosikan di Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Usaha tersebut dilawan oleh Gereja Katolik, sebab eutanasia jelas bertentangan dengan pandangan moral Gereja Katolik, yang dengan nyata sangat menjunjung tinggi dan menghormati nilai hidup manusia.
Uraian tentang Eutanasia akan dibahas lebih jelas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Eutanasia 
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni eu (baik) dan thanatus (mati). Jadi, eutanasia berarti "mati baik" atau "kematian yang baik" atau “kematian tanpa penderitaan. Eutanasia adalah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”, istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan.
         Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia  merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, No. 66). Sebab itu, Bapa Suci memaklumkan, “Memperhatikan distingsi-distingsi itu, selaras dengan Magisterium para Pendahulu kami, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik, kami mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).B.   Jenis – Jenis Eutanasia
1.    Dilihat dari segi pelakunya
Ø Compulsary euthanasia
     Compulsary euthanasia, yaitu bila orang lain memutuskan kapan hidup sesorang akan berakhir. Orang tersebut mungkin kerabat, dokter, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang – kadang eutanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih). Misalnya : dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti anak - anak yang cacat parah.
Ø Voluntary euthanasia
Voluntary euthanasia, yaitu bila orang itu sendiri yang minta untuk mati, berapa orang percaya bahwa pasien – pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menanadatangani dokumen legal sebagai bukti permintaanya dan disakasikan oleh satu orang atau lebih yagn tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini dianjurkan oleh masyarakat eutanasia sukarela.
2.   Dilihat dari segi caranya 
Ø Eutanasia aktif
Eutnasia aktif, yaitu m,empercepat kematian sesorang secara aktif dan terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.
Ø Eutanasia pasif
Eutnasia pasif, yaitu pengobatan yang sia – sia dihentikan atau sma sekali tidak dimulai atau diberi obat pengkal sakit yang hendka memperpendek hidupnya, karena pengobatan apapun tidak berguna lagi.
C. Penilaian Moral Umum Tehadap Eutanasia
       Tindakan eutanasia tidak langsung dapat dibenarkan secara moral, jika dalam kasus tertentu alasan yang dikemukakan oleh pasien atau keluarga yang menolak perawatan yang luar biasa dan mahal, sungguh jujur dan benar. Tindakan eutanasia langsung tidak dapat dibenarkan secara moral karena memiliki tujuan dan cara yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan tidak menghormati martabat pribadi serta nilai hidup manusia. Secara moral tindakan ini tidak benar karena menghendaki kematian pasien.
       Dalam perspektif etika dan moral, alasan yang mendasari mutlaknya kewajiban menghormati hidup manusia tidak lain adalah :
·         Pertama, pengakuan martabat manusia sebagai pribadi yang unik, yang memiliki rasionalitas, kehendak, dan kebebasan yang bertanggung jawab serta pribadi yang senantiasa berkembang menuju pada kepenuhan. 
·         Kedua, pengakuan martabat sebagai makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan, saling membantu dan menolong dalam usaha memperkembangkan diri. Oleh karena makna dan tujuan kehidupan bersama itulah muncul kewajiban untuk menghormati kehidupan setiap individunya.
·         Ketiga, pengakuan nilai hidup jasmani sebagai indikasi mutlak akan kehidupan. Manusia hanya mungkin mengembangkan diri baik secara personal maupun komunal selama ia masih hidup. Demikianlah nilai jasmani merupakan nilai yang mendasari nilai-nilai duniawi lainnya sehingga menuntut konsekuensi untuk mendapatkan prioritas.
·         Keempat, pengakuan iman kepercayaan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa hidup adalah karunia-Nya yang sangat berharga dan istimewa. Penilaian moral terhadap eutanasia tentu saja didasarkan pada pengertian istilah eutanasia itu sendiri.
D. Pandangan Gereja Katolik Terhadap Eutanasia
      Gereja Katolik menjunjung tinggi harkat dan martabat hidup manusia. Hidup dan mati manusia berada dalam tangan Tuhan. Oleh karena itu, tak seorang pun memiliki wewenang untuk mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain. Maka, pada dasarnya, Gereja Katolik menolak tindakan "eutanasia", apalagi bila tindakan itu tergolong eutanasia aktif atau langsung. Dasar penolakan tersebut adalah karena eutanasia terarah pada pembunuhan atau mengakhiri hidup seseorang sebelum waktunya. Walaupun ada berbagai alasan yang dilontarkan oleh pihak yang mendukung eutanasia, entah alasan mengurangi penderitaan, materialistis, ataupun produktifitas, tetap tidak dapat diterima secara moral. Sebab, biar bagaimana pun manusia sebagai pribadi memiliki nilai luhur sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan berharga di mata Tuhan.       Oleh karena itu, orang yang mengalami penderitaan atau penyakit harus diperhatikan dan dirawat semampu mungkin. Setidaknya, usaha-usaha pengobatan harus diupayakan untuk merawat dan menyembuhkannya, baik dengan usaha biasa maupun usaha luar biasa. Sebab, penderitaan harus diringankan dengan cara yang baik, bukan dengan pembunuhan. Hal itu disadari oleh semua pihak, termasuk pihak tenaga medis.     Menurut pandangan Gereja, penderitaan juga memiliki makna. Manusia seharusnya menerima penderitaan sebagai suatu proses menuju kematangan hidup sampai akhir. Manusia kristen yang menderita ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Manusia dipanggil untuk berbuat baik kepada sesamanya, khususnya kepada orang yang menderita. Penderitaan di sini dapat menjadi ukuran bagi manusia untuk melindungi hidupnya dengan baik. Ungkapan kasih dan cinta yang tulus harus diungkapkan kepada para penderita sakit. Ungkapan cinta kasih tidak melenyapkan kehidupan seseorang. Hidup tidak dapat dilenyapkan demi menghindari penderitaan.
Dengan kata lain, penderitaan bisa diterima sebagai sarana untuk mencapai keselamatan, dan bukan unutk diperangi. Maka, setiap orang beriman kiranya dapat menerima dan menghadapi penderitaan dalam terang iman dengan berguru pada Yesus yang juga mengalami penderitaan dengan sabar demi keselamatan umat Allah. Juga, setiap orang beriman diminta untuk memberi perhatian kepada orang yang mengalami penderitaan.Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tahun 1980, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan “Declaratio de Euthanasia” yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, teristimewa mengingat semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. 
Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' …. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) juga memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik kita tentang hal ini. 
Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: 
Ø Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kita menghormati kekudusan kelangsungan hidup manusia sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar.
Ø Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Sebab itu, pemeliharaan hidup bukan hanya sekedar masalah “jasmani” di mana kita banyak mencurahkan perhatian pada tubuh dan kehidupan jasmani, hingga kita kehilangan pandangan akan jiwa, kehidupan rohani individu dan tujuan kehidupan kekalnya. Karenanya, kita wajib menimbang apakah suatu perawatan hanya sekedar menjaga fungsi tubuh dan menunda kematian, ataukah suatu perawatan membantu individu dalam memperkuat hidup dan memulihkan kesehatan. Akan tiba waktunya di mana seseorang meninggalkan kehidupan di dunia ini dan kembali kepada Tuhan dalam suatu kehidupan yang baru.
Ø Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah. Pula, melakukan percobaan atas kehidupan atau membunuh seorang yang tak bersalah merupakan suatu tindak kejahatan. Oleh karena alasan-alasan di atas, Konsili Vatikan II mengutuk, “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja….” (Gaudium et Spes, No. 27).
Walau Gereja membuat pembedaan antara sarana-sarana biasa dan luar biasa, namun Gereja tidak akan menolerir tindakan eutanasia dalam bentuk apapun. Eutanasia, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan (= dehidrasi). Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. 
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, ada seorang imam yang didiagnosa menderita kanker pankreas dan diberitahu bahwa penyakit itu akan mendatangkan kematian baginya. Daripada menjalani chemotherapy atau radiasi yang menyakitkan, yang hanya dapat memberinya harapan hidup enam bulan lebih lama, imam mengikuti program perawatan yang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan, penanganan penyakit, dan perawatan kesehatan yang bagus. Ia mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Tuhan yang telah ia layani sebagai imam selama 45 tahun. Tentu saja, ia dapat menjalani chemotherapy atau radiasi; tetapi alternatif-alternatif ini adalah perawatan kesehatan luar biasa, sebab tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya. Tindakannya secara moral sesuai dengan ajaran Katolik.
Adapun contoh lain, yaitu seseorang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma; ia makan lewat slang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian ia pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
Patut diperhatikan bahwa dalam dua kasus di atas, jika seseorang memutuskan untuk memberikan injeksi mati kepada pasien, atau tidak memberikan perawatan kesehatan yang biasa, seperti makanan dan minuman, maka hal itu akan merupakan suatu tindakan pembunuhan yang disengaja.
Memang, tak seorang pun suka menderita dan tak seorang pun suka melihat orang yang dikasihinya menderita. Namun demikian, kita wajib ingat bahwa masing-masing kita dibaptis dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Kita semua ikut ambil bagian dalam salib Kristus, dan bahwa terkadang hal itu dapat amat menyakitkan. Akan tetapi, penderitaan ini, teristimewa penderitaan di saat-saat akhir hidup seseorang, haruslah dipandang sebagai keikutsertaan dalam penderitaan Kristus. Dengan mempersatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus, kita menyilih luka-luka yang diakibatkan dosa-dosa kita dan membantu menyilih dosa-dosa orang lain juga, sama seperti yang dilakukan sebagian dari para martir awali yang mempersembahkan penderitaan mereka demi orang-orang berdosa. Terkadang, penderitaan yang demikian pada akhirnya dapat menyembuhkan luka-luka yang telah memisahkan keluarga-keluarga. Haruslah kita mengarahkan pandangan pada Kristus agar Ia membantu kita dalam penderitaan dan membimbing kita dari kehidupan ini kepada DiriNya.
Tak satu pun dari kasus-kasus yang demikian itu mudah. Dengan segala teknologi medis dan sistem penunjang hidup, keluarga semakin sulit menentukan keputusan dalam keadaan demikian. Walau begitu, ada suatu perbedaan besar antara membunuh orang secara sengaja, dan membiarkan orang meninggal dengan tenang penuh martabat, sementara meneruskan sarana-sarana perawatan kesehatan yang biasa. Dengan banyak doa, keluarga, dengan bimbingan nasehat imam dan dokter, perlu menerapkan prinsip-prinsip moral bagi setiap keadaan individu. Terlebih lagi, kita wajib ingat bahwa “Selain upaya-upaya dokter, orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati, yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orangtua dan anak-anak, dokter dan perawat” (Declaratio de Euthanasia).
E. Tenaga Medis dan Eutanasia
      Pada awalnya, istilah eutanasia ini menunjukkan usaha tenaga medis untuk membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik atau tanpa penderitaan yang terlalu hebat. Namun, belakangan ini istilah tersebut lebih dimengerti sebagai tindakan yang diambil untuk memutus kehidupan seseorang secara medis, sehingga di satu sisi tindakan tersebut mirip dengan pengguguran atau pembunuhan.Eutanasia dan hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar etika medis. Tugas pokok para medis adalah memahami nilai-nilai kemanusiaan dalam pelayanannya. Mereka mesti berusaha untuk memahami prinsip dasar kehidupan dalam kaitannya dengan hidup, kesehatan dan kematian manusia. Dari awal tindakan eutanasia (khusus eutanasia langsung) sungguh ditentang. Hal itu nyata terlontar dalam sumpah Hipokrates (Bapa para dokter): saya tidak akan memberi racun kepada siapapun untuk menyenangkan atau untuk mematikan orang tersebut.
Dalam lingkup ini dimengerti dan diaminkan bahwa para medis tidak boleh melakukan tindak kejahatan (eutanasia) kepada siapapun juga!Dari petugas medis dituntut semangat pelayanan yang tinggi dan luhur, demi kepentingan pasien atau siapa saja yang mereka hadapi. Mereka harus bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi pasien. Sehubungan dengan itu sifat dasar yang harus melekat pada pribadi tenaga medis ialah kemurnian niat, komitmen kerja, kerendahan hati, integritas ilmiah dan sosial yang memadai. Para medis wajib melindungi dan menghormati kehidupan dan bukan melakukan tindakan penyiksaan atau pembunuhan. Kacamata yang dipakai ialah prinsip hormat kepada kehidupan.
Menurut ahli hukum kedokteran eutanasia dapat dibedakan menjadi tiga macam :
Ø Eutanasia aktif : Tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Ø Eutanasia pasif : Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat. Atau melakukan kasus malapraktik. Karena ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan eutanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya bertahan hidup atau mengurangi pertolongan.
Ø Autoeutanasia : Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah eutanasia pasif atas permintaan.
F. Argumen Penentang dan Pendukung Eutanasia
1.  Argumen penentang Eutanasia
Ø  Dari sudut pandang etika kedokteran, eutanasia sebenarnya bertentangan dengan etika kedokteran.
§  Dalam sumpah Hippocrates, ditekankan pentingnya meringankan penderitaan, memperpanjang hidup, dan melindungi kehidupan. Sumpah Hippocrates yang terkenal tersebut antara lain berbunyi, "...saya tidak akan memberikan racun kepada siapa pun yang menghendakinya, juga tidak akan menasihati orang untuk mempergunakannya." 
§  Declaration of Geneva 1948 dan Declaration of Sydney 1968 menyebutkan bahwa, "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.... Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan." Dapat pula disebutkan di sini Peraturan Pemerintah 1969 tentang lafal sumpah dokter Indonesia yang bunyinya serupa dengan Declaration of Geneva dan Declaration of Sydney. 
§  Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab II tentang kewajiban dokter terhadap pasien, yang tidak memperbolehkan mengakhiri pende-ritaan dan hidup orang sakit, yang menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi (eutanasia).
§  Dalam buku yang berjudul Ethics and Euthanasia, Another View, Leonard J. Weber mengatakan bahwa titik awal dari etika kedokteran adalah perasaan hormat terhadap suatu individu. "Ini berarti suatu tanggung jawab moral untuk memelihara kesehatan dan memperpanjang hidup individu tersebut dan kita harus menghormati manusia secara keseluruhan, yaitu manusia yang terdiri dari komponen personal, spiritual, dan fisik, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan bukan hanya sebagai satu spesies dari kehidupan biologi belaka," kata Veron.
Ø  Tindakan eutanasia adalah suatu pembunuhan terselubung. Oleh karena itu, tindakan ini secara langsung bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta.
2.  Argumen Pendukung Eutanasia
Ø James Rachels dan orang yang sealiran dengannya mempromosikan eutanasia dengan beberapa argumen. Argumen ini didasarkan pada pandangan bahwa setiap orang akan mati. Proses kematian itu dapat ditempuh dengan cara mati secara aman (tanpa penderitaan) atau mati sesudah mengalami penderitaan hebat. Menurut mereka, orang akan lebih memilih cara pertama daripada cara kedua.
      Beberapa dari argumen yang dilontarkan untuk mendukung eutanasia tersebut adalah:• Demi mengelakkan penderitaan. Penderitaan adalah musuh dan harus dikalahkan. Maka, tindakan mematikan demi membantu orang untuk menghilangkan penderitaan bisa diterima.• Prinsip utilitarisme. Orang yan sudah sakit keras tidak ada lagi gunanya melanjutkan kehidupan sebab tidak dapat lagi menghasilkan kebaikan. Maka, orang seperti itu lebih baik mati provocata (eutanasia).• Kemajuan tehnik medis. Jack Kevorkian memelopori penggunaan alat atau tehnik dan sarana khusus yang lebih enak dan berterima untuk mematikan orang dengan memakai alasan menghilangkan penderitaan dan penyakit.• Prinsip keadilan sosial dan keadilan terhadap binatang. Menurut Peter Sinjer, tidak adillah memperpanjang hidup orang yang sudah jelas tidak memiliki masa depan sebagai persona sementara banyak orang yang butuh uang untuk dapat makan. Pun, kenapa manusia gampang menerima pembantaian binatang yang ingin hidup dan menolak pematian manusia yang sudah jelas tidak mungkin hidup. Hal itu dinilai tidak adil.• Menghormati otonomi. Otonomi pasien pantas dihormati. Maka, pasien yang meminta ahli medis untuk mengakhiri hidupnya harus dihormati dan diterima. Ø  Dalam pandangan hukum, eutanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengizinkan.
BAB III
PENUTUP
v  Refleksi 
Setiap manusia harus berusaha umtuk mewujudkan tindakan membela kehidupan. Hukum emas: mencintai sesama seperti diri sendiri merupakan senjata ampuh melawan eutanasia dan segala tindak kejahatan yang tidak menghormati kehidupan. Eutanasia yang pada akhirnya menyebabkan kematian tidak dapat dibenarkan secara moral. Sebab, harkat dan martabat hidup manusia harus dibela dan dijunjung tinggi. 
Manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh cinta dan berkat. Hidup manusia suci karena sejak awal menyatakan tindakan penciptaan Allah dan relasinya dengan Allah. Hidup manusia berasal dari Allah, maka urusan memberi dan mengakhiri hidup manusia adalah wewenang Allah. Tidak ada hak siapapun juga untuk mengakhiri hidup seseorang.
Setiap suara hati haurs diarahkan untuk menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia.
v Kesimpulan 
Dengan penjelasan yang didasarkan malalui berbagai sumber. Maka dapat disimpulkan, bahwa setiap nyawa manusia adalah pemberian dari Sang Pencipta bukan hasil perbuatan manusia yang berasal dari teknologi dan skill manusia. Untuk itu setiap usaha manusia untuk mengakhiri nyawa orang lain walaupun dengan alasan yang dapat diterima dengan akal sehat dan logika manusia tidak dapat diterima dan dibenarkan secara moral. Karena manusia tidak berhak menentukan dan mengakhiri hidup orang lain. Hanya  Allah yang mempunyai hak itu sebab Tuhanlah yang memberi hidup, maka sudah sepatutnyalah manusia mengurus dan menghargai hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta bukan mengakhiri hidup karena situasi yang sulit. Karena urusan kematian adalah urusan Tuhan bukan manusia. Berusahalah untuk mempertahankan hidup baik untuk diri sendiri dan terhadap orang lain, jangan menjadikan orang yang cacat atau sakit sebagai alasan beban dalam hidup dan juga atas dasar rasa kasihan terhadap penderitaan orang sehingga mengambil keputusan melakukan eutanasia, perbuatan itulah yang menjebak kita pada dosa. Berpikirlah secara bijaksana berdasarkan suara hati dan terang dari Tuhan agar kita menjadi hamba Tuhan yang mampu memperjuangkan rahmat Kehidupan dari Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
v Katekismus Gereja Katolik
v Komisi Katetketik KWI. 2003. Perutusan murid-murid Yesus. Semarang